JAKARTA – Penyesuaian besaran Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% tengah hangat diperbincangkan. Kalangan pengusaha bahkan sempat meminta agar di pemerintahan baru yang dipimpin Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dapat membatalkan aturan kenaikan PPN tersebut.

Merespons hal ini, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, pihaknya menyadari bahwa kebijakan ini bukanlah sesuatu hal yang mendadak. Aturan ini telah disebut dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Namun demikian, kondisi ekonomi saat ini terbilang di luar ekspektasi pengusaha pada kala aturan itu dibuat.

“Kami juga mendengar masukan daripada pelaku (usaha). Ini harus jadi perhatian pada saatnya itu sudah masuk di pemerintah baru. Mereka bisa mengevaluasi dan melihat perkembangan saat ini, karena jelas ini suatu yang tidak kami antisipasi bahwa kondisi global akan separah ini,” kata Shinta, ditemui di Kantor Kemenko Marves, Jakarta Pusat, Jumat (22/3/2024).

Shinta menilai, dengan kondisi global yang penuh ketidakpastian seperti sekarang ini, ditambah dengan peningkatan persentase pajak, akan berpengaruh baik kepada bisnis hingga daya beli masyarakat.

“Kenaikan 12% itu kan kita dari dunia usaha sebetulnya PPN itu kan diinikan ke konsumen. Jadi nanti yang akan kena ke konsumennya. Itu yang harus menjadi perhatian pemerintah kepada konsumen sendiri. Nanti seperti apa. Karena jelas mereka akan membutuhkan insentif dan lain-lain,” ujarnya.

“Mungkin tidak bisa diputuskan sekarang karena ini masih pemerintah Pak Jokowi, tapi ke depan itu kan targetnya Januari akan dinaikkan. Semoga bisa jadi perhatian dan pertimbangan apakah tepat waktunya,” sambungnya.

Di sisi lain, Shinta menilai bahwa sepatutnya pemerintah bisa lebih berfokus pada peningkatan pembayaran dari pajak itu sendiri ketimbang peningkatan nilainya. Hal ini menjadi PR besar yang harus diselesaikan.

“Ini yang juga sudah kita sampaikan bahwa kita harus perhatikan bagaimana caranya bisa lebih banyak pengembangan dari segi bayar pajak,” tutur Shinta.

“Kalau kita lihat industri di Indonesia ini lebih banyak di informal daripada formal. Oleh karenanya mereka tidaj membayar pajak. Ini mungkin sesuatu yang kita harus lebih dorong untuk bantu bagaimana bisa konversi dari informal ke formal sehingga bisa bantu juga daripada peningkatan pemasukan pajak,” sambungnya.

Sebagai tambahan informasi, sebelumnya Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Merek Global Indonesia (Apregindo) Handaka Santosa mengatakan tidak setuju dengan rencana kenaikan PPN jadi 12% tersebut. Ia berharap pemerintahan baru nanti, yang dipimpin oleh Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dapat membatalkan aturan kenaikan PPN tersebut.

“Kenapa sih PPN harus naik 12%? Itu dibebankan ke siapa? Ke masyarakat lho, bukan ke pengusaha. Kan PPN yang bayar masyarakat. Kalau belanja ke (pusat perbelanjaan) seperti Matahari, di dalamnya ada unsur 10%, sekarang sudah 11%, nanti jadi 12%. Pengeluaran yang lain jadi berkurang kalau tetap mau beli, atau anda nggak jadi belanja,” kata Handaka, Kamis (21/3/2024), dikutip dari CNBC Indonesia.

“Berharap ke pemerintahan baru nanti, PPN 12% ini dibatalkan. Sudah, nggak perlu dinaikin jadi 12%, untuk mendongkrak dan men-support daya beli masyarakat, stabil, sehingga konsumsi rumah tangga bisa dipertahankan,” lanjutnya.(SW)