JAKARTA – Koalisi masyarakat yang terdiri dari ICW, Perludem, Pusako FH Unand, dan Komite Pemantau Legislatif menganggap aturan KPU dianggap bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Lembaga – lembaga ini mengkritik Pasal 11 ayat (6) PKPU 10/2023 dan Pasal 18 ayat (2) PKPU 11/2023.

Hal itu karena kedua pasal tersebut dinilai memberikan potensi yang memberi kesempatan bagi mantan terpidana korupsi untuk bisa maju ke dalam pencalonan legislatif tanpa harus melewati masa jeda 5 tahun.

Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana memaparkan 2 aturan itu menyebutkan bahwa mantan terpidana korupsi diperbolehkan maju sebagai calon anggota legislatif tanpa harus melewati masa jeda waktu lima tahun sepanjang vonis pengadilannya memuat pencabutan hak politik. ICW meyakini ada rentetan kekeliruan logika pikir dari KPU tersebut.

Sebab kedua PKPU tentang pencalonan anggota DPR, DPRD, dan DPD itu dinilai bertentangan dengan Putusan MK No 87/PUU-XX/2022 dan Putusan MK No 12/PUU-XXI/2023 terkait terpidana korupsi yang ingin maju sebagai caleg harus melewati masa jeda 5 tahun sebelum mencalonkan diri. Namun dalam PKPU tersebut mengatur terpidana korupsi bisa mencalonkan diri apabila telah menjalani pidana tambahan pencabutan hak politik yang lamanya sesuai vonis hakim (bukan masa jeda 5 tahun).

“Nah ketentuan itu tercantum sebenarnya di dalam PKPU. Namun kalau dicermati lebih detail tiba-tiba ada pengecualian yang ditulis, dibahas di undangkan dalam PKPU itu. Apa syarat pengecualiannya?

“Masa jeda waktu 5 tahun tidak berlaku sepanjang atau ketika terpidana korupsi dijatuhi pidana tambahan berdasarkan Pasal 18 UU Tindak Pidana Korupsi yang mengenai pencabutan hak politik. Jadi itu sumber persoalannya,” kata Kurnia, dalam YouTube Sahabat ICW, Senin (21/5/2023).

Berikut ini bunyi Pasal 11 ayat (6) PKPU 10/2023 yang dipersoalkan:

(5) Persyaratan telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g, terhitung sejak tanggal selesai menjalani masa pidananya sehingga tidak mempunyai hubungan secara teknis dan administratif dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia, dan terhitung sampai dengan Hari terakhir masa pengajuan Bakal Calon.

(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak berlaku jika ditentukan lain oleh putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap untuk pidana tambahan pencabutan hak politik.

Lebih lanjut, Kurnia menjelaskan turunan PKPU 10/2023, terdapat simulasi perhitungan seandainya ada mantan terpidana korupsi yang dikenakan pencabutan hak politik dan ingin maju sebagai calon anggota legislatif.

“Ada turunan PKPU yang sudah dihasilkan mereka membuat simulasi waktu, secara sederhana seandainya ada terdakwa korupsi yang kemudian divonis penjara misalnya 3 tahun, lalu dia dikenakan pencabutan hak politik, kita asumsikan misalnya yang bersangkutan itu bebas pada tahun 2020, maka dari itu, jika mengikuti logic dari putusan MK maka dia harus menunggu masa jeda waktu selama 5 tahun sehingga yang bersangkutan baru bisa mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif pada tahun 2025. Namun karena ulah dari KPU mereka sudah bisa mencalonkan diri per tahun 2023, tidak usah menunggu 5 tahun tapi gunakan saja landasan ‘pidana tambahan pencabutan hak politik’,” kata Kurnia.

Kurnia menduga ke depan akan ada banyak terdakwa korupsi yang memiliki baground politik yang berharap dijatuhi pidana tambahan pencabutan hak politik. Sebab sanksinya dianggap lebih ringan dibandingkan harus mengikuti putusan MK yang mengatur masa jeda 5 tahun.

“Jadi ke depan tentu banyak terdakwa korupsi yang memiliki background politik atau sebagai pejabat publik berharap kepada majelis hakim agar dijatuhi pidana tambahan pencabutan hak politik. Kenapa? Karena ketika mereka dijatuhi pidana tambahan pencabutan hak politik sanksinya lebih ringan ketimbang mesti mengikuti putusan MK yang harus melewati masa jeda waktu 5 tahun. Itu logika sederhana yang akan terbangun di alam pikir para terdakwa korupsi yang berasal dari klaster politik,” ujarnya.

“Jadi sudah bertentangan dengan putusan MK, keliru pula cara menghitungnya,” katanya.

Padahal, berdasarkan putusan MK, pengaturan masa jeda waktu 5 tahun bagi terpidana korupsi itu dilakukan agar terpidana dapat intropeksi diri, bersosialisasi dengan masyarakat. Ia menyebut ada sejumlah dampak buruk dari PKPU tersebut, salah satunya PKPU tersebut dinilai berpihak pada koruptor.

“Kami melihat ada sejumlah dampak buruk dari 2 PKPU yang dihasilkan oleh Saudara Hasyim bersama komisioner-komisioner KPU lainnya. Misalnya jelas sekali KPU sedang berupaya untuk merusak nilai integritas pemilu. Karena MK sudah berupaya semaksimal mungkin memberikan masa jeda waktu 5 tahun tapi justru ditabrak secara semena-mena oleh KPU sendiri,” ujar Kurnia.

“Selain itu juga tidak salah jika kemudian kita katakan PKPU yang dihasilkan oleh KPU berpihak pada koruptor, karena justru memberikan kesempatan, memberikan karpet merah kepada pelaku korupsi, silakan gunakan hukuman pencabutan hak politik kemudian Anda bisa mendaftarkan diri sebagai calon anggota legislatif baik DPR maupun DPD RI,” sambungnya.(SW)