JAKARTA – Rasio utang luar negeri sudah mengkhawatirkan, Sri Mulyani masih bilang aman. Padahal utang pemerintah per 30 Desember 2022 tembus Rp 7.733,99 triliun atau naik Rp 179,74 triliun dibandingkan bulan sebelumnya. Alhasil, rasio utang pemerintah menjadi 39,57% terhadap produk domestik bruto (PDB).

Rasio 39,57% atau nyaris 40% sesungguhnya sudah mengkhawatirkan bagi para ekonom berpikiran normal. Namun tidak bagi Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Baginya rasio 50% atau tinggal menunggu negara kolaps baru Sri Mulyani panik. Apakah negara kita harus menunggu panik dan kolaps baru sadar?

Seperti diketahui, sebelumnya Sri Mulyani Indrawati mengatakan rasio utang pemerintah masih dalam kondisi sehat.

“Yang Anda sebut sehat, 39% itu sehat sebetulnya. Anda terobsesi sehat tuh dianggapnya sehat itu nggak ada utang, nggak ada. Semua negara mau Brunei Darussalam, Saudi Arabia dia punya utang,” ujar Bendahara Negara itu saat mengisi sebuah Kuliah Umum, Jumat (3/2/2023).

Menurut Sri Mulyani pandemi COVID-19 membuat utang pemerintah bengkak dan diikuti dengan pelebaran defisit APBN. Tanpa berlama-lama, pemerintah segera melakukan berbagai langkah optimalisasi penerimaan agar defisit APBN dan utang mengecil.

Di sisi lain, mantan pejabat Bank Dunia ini mengatakan pengelolaan keuangan negara dilakukan secara baik. Sebab, kenaikan utang juga diikuti dengan pendapatan negara yang meningkat baik melalui pajak hingga bea cukai.

“Kalau kita ingin utang menurun, pada saat economy boom kita collect penerimaan negara itu harus reform perpajakan. Apakah itu PPh untuk orang pribadi, PPh untuk korporasi, PPh untuk PPN, pajak, ekspor, bea masuk, bea keluar, royalti kita kumpulkan, pajak bumi bangunan kita kumpulkan semuanya untuk membiayai sisi belanja,” ujar Sri Mulyani.

Dalam buku APBN KiTA, pemerintah menyatakan secara umum posisi utang hingga akhir 2022 masih dalam batas aman, wajar, serta terkendali diiringi dengan diversifikasi portofolio yang optimal. Pemerintah juga berkomitmen untuk terus mengelola utang dengan hati-hati.

Utang pemerintah terdiri atas dua jenis yakni berbentuk surat berharga negara (SBN) dan pinjaman. Mayoritas utang pemerintah didominasi oleh instrumen SBN yakni 88,53% dan sisanya pinjaman 11,47%.

Porsi SBN Rp 6.846,89 triliun. Terdiri dari SBN domestik Rp 5.452,36 triliun dan valuta asing Rp 1.394,53 triliun.

Sedangkan untuk pinjaman senilai Rp 887,10 triliun. Terdiri dari pinjaman dalam negeri Rp 19,67 triliun dan pinjaman luar negeri Rp 867,43 triliun.

Berdasarkan mata uang, utang pemerintah masih didominasi oleh mata uang domestik (rupiah) yaitu 70,75%. Dengan strategi utang yang memprioritaskan penerbitan dalam mata uang rupiah, porsi utang dengan mata uang asing ke depan diperkirakan akan terus menurun dan risiko nilai tukar dapat semakin terjaga.

“Langkah ini menjadi salah satu tameng pemerintah dalam menghadapi volatilitas yang tinggi pada mata uang asing dan dampaknya terhadap pembayaran kewajiban utang luar negeri,” tuturnya.

Kepemilikan SBN saat ini didominasi oleh perbankan dan diikuti Bank Indonesia (BI). Tercatat kepemilikan investor asing terus menurun sejak 2019 yang mencapai 38,57%, hingga akhir 2021 tercatat 19,05% dan per akhir Desember 2022 mencapai 14,36%.

“Hal tersebut menunjukkan upaya pemerintah uang konsisten dalam rangka mencapai kemandirian pembiayaan dan didukung likuiditas domestik yang cukup. Meski demikian, pemerintah akan terus mewaspadai berbagai risiko yang berpotensi meningkatkan cost of borrowing seperti pengetatan likuiditas global dan dinamika kebijakan moneter negara maju,” tutup buku APBN KiTA.

Berbeda dengan Sri Mulyani, pengamat ekonomi lainnya malah mengatakan alarm indikator utang Indonesia mulai berbunyi.

Guru Besar Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) Mudrajad Kuncoro dari semua indikator utang, debt to service ratio (DSR) atau rasio utang Indonesia cukup mengkhawatirkan.

“Membahas indikator utang, ada tiga yaitu debt to service ratio, debt export ratio dan debt to GPD ratio,” ujarnya.

Dari ketiganya, Mudrajad mengungkapkan ada satu indikator yang berada di atas 20%, yaitu debt to service ratio (DSR).

“Yang lain-lain fine, DSR kita sejak pemerintahan Jokowi itu di atas 20%,” ungkapnya.

DSR sendiri adalah rasio utang menghitung kemampuan pembayaran bunga dan cicilan utang yang dibagi dengan penerimaan ekspor.

Sebagai perbandingan, data terakhir Bank Dunia, menunjukkan DSR Indonesia berada pada level 39,57%.

Sejak 2016 sampai 2018, DSR Indonesia mengalami tren penurunan hingga mencapai 25,1% pada 2018. DSR meningkat pada 2019 hingga awal 2023 menjadi 39,57% atau nyaris 40%.(SW)