JAKARTA- Kasus Hakim Agung, ICW soroti vonis ringan MA terhadap koruptor. Selama ini Mahkamah Agung (MA) kerap memvonis ringan para pelaku korupsi.

Vonis ringan MA ini diduga dipengaruhi oleh suap terhadap oknum-oknum di MA. Tak heran bila kemudian orang mengaitkan kasus Hakim Agung Sudrajat yang terjerat operasi tangkap tangan (OTT) KPK.

Terkait kasus Hakim Agung dengan dugaan suap penanganan perkara dengan tersangka Hakim Agung nonaktif Sudrajad Dimyati, Indonesia Corruption Watch (ICW) mengaku khawatir.

ICW pun mengungkit Mahkamah Agung (MA) yang dianggap kerap memberi vonis ringan terdakwa korupsi.

“Di saat yang sama, jika dilihat beberapa tahun terakhir, kinerja MA justru mendapat banyak sorotan dari masyarakat. Beberapa di antaranya adalah pengenaan hukum ringan terhadap pelaku korupsi yang berulang. Berdasarkan data tren vonis yang dikeluarkan oleh ICW, tercatat pada 2021 rata-rata vonis pengadilan hanya mencapai 3 tahun 5 bulan,” kata peneliti ICW Lalola Easter Kaban kepada wartawan, Sabtu (24/9/2022).

‘Agung’ tapi Perilaku Memprihatinkan.
Lalola juga menyoroti rekam jejak Sudrajad. Dia mengungkit kejadian pada 2013, ketika Sudrajad tersandung isu ‘lobi toilet’ meski belakangan Sudrajad dinyatakan bersih oleh MA dan Komisi Yudisial (KY).

“Setelah diperiksa oleh Komisi Yudisial, dia akhirnya gagal menjadi Hakim Agung pada 2013. Namun, setahun kemudian, dia dipilih menjadi Hakim Agung Kamar Perdata. Hal ini setidaknya menunjukkan bahwa proses seleksi calon Hakim Agung tidak mengedepankan nilai-nilai integritas,” katanya.

Lalola juga menilai pengawasan terhadap MA masih lemah. Menurutnya, hal itu menjadi celah korupsi terjadi di MA.

“Kedua, lemahnya proses pengawasan lembaga, baik oleh Badan Pengawas MA maupun Komisi Yudisial, semakin membuka celah terjadinya korupsi di sektor peradilan. Kondisi tersebut memungkinkan masih banyaknya oknum hakim dan petugas pengadilan yang korup namun tidak teridentifikasi oleh penegak hukum,” ujarnya.

ICW pun mendesak MA segera melakukan evaluasi menyeluruh. ICW juga mendesak MA bersama KY dan KPK berkoordinasi untuk melakukan pemetaan potensi korupsi di lembaga peradilan.

“KPK mengembangkan perkara dan menindak seluruh pihak yang diduga terlibat dalam perkara ini, untuk memastikan pemberantasan mafia peradilan berjalan optimal,” ucapnya.

Kasus yang menjerat Sudrajad Dimyati ini diawali operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK di Jakarta dan Semarang. KPK kemudian melakukan gelar perkara. Setelah itu, KPK mengumumkan 10 orang sebagai tersangka, termasuk Dimyati.

Ketua KPK Firli Bahuri menjelaskan mengungkapkan kasus tersebut diawali dengan adanya laporan pidana dan gugatan perdata terkait dengan aktivitas dari koperasi simpan pinjam ID (Intidana) di Pengadilan Negeri Semarang yang diajukan oleh debitur Koperasi Simpan Pinjam ID, Heryanto Tanaka (HT) dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto (IDKS) dengan diwakili melalui kuasa hukumnya, yakni Yosep Parera (YP) dan Eko Suparno (ES).

Pada 2022, Heryanto dan Ivan Dwi melakukan pengajuan kasasi dengan masih mempercayakan Yosep dan Eko sebagai kuasa hukumnya. Dalam pengurusan kasasi ini, diduga Yosep dan Eko melakukan pertemuan dan komunikasi dengan beberapa pegawai di Kepaniteraan MA yang dinilai mampu menjadi penghubung hingga fasilitator dengan Majelis Hakim yang nantinya bisa mengkondisikan putusan sesuai dengan keinginan Yosep dan Eko.

Desy Yustria selanjutnya diduga mengajak Elly Tri Pangestu (RTP) selaku Hakim Yustisial/Panitera Pengganti Mahkamah Agung dan Muhajir Habibie (MH) selaku PNS pada Kepaniteraan Mahkamah Agung untuk ikut serta menjadi penghubung penyerahan uang ke Majelis Hakim. Desy dkk diduga menjadi representasi dari Sudrajad Dimyati (SD) dan beberapa pihak di MA untuk menerima uang dari pihak-pihak yang mengurus perkara.

“Terkait sumber dana yang diberikan YP dan ES pada Majelis Hakim berasal dari HT dan IDKS. Jumlah uang yang kemudian diserahkan secara tunai oleh YP dan ES pada DY sejumlah sekitar SGD 202.000 (ekuivalen Rp 2,2 miliar) yang kemudian oleh DY dibagi lagi dengan pembagian DY menerima sekitar sejumlah Rp 250 juta, MH menerima sekitar sejumlah Rp 850 juta, ETP menerima sekitar sejumlah Rp 100 juta dan SD menerima sekitar sejumlah Rp 800 juta yang penerimaannya melalui ETP,” ujar Firli.

Berikut daftar 10 tersangka kasus ini:

Sebagai Penerima:
– Sudrajad Dimyati, hakim agung pada Mahkamah Agung
– Elly Tri Pangestu, hakim yustisial/Panitera Pengganti Mahkamah Agung
– Desy Yustria, PNS pada kepaniteraan Mahkamah Agung
– Muhajir Habibie, PNS pada kepaniteraan Mahkamah Agung
– Nurmanto Akmal, PNS Mahkamah Agung
– Albasri, PNS Mahkamah Agung

Sebagai Pemberi:
– Yosep Parera, pengacara
– Eko Suparno, pengacara
– Heryanto Tanaka, swasta/debitur Koperasi Simpan Pinjam ID (Intidana)
– Ivan Dwi Kusuma Sujanto, swasta/debitur Koperasi Simpan Pinjam ID (Intidana)(SW)