JAKARTA – Deputi Bappilu DPP Partai Demokrat, Kamhar Lakumani, menyangkal Politik Identitas yang disebut embrionya ada di masa Presiden SBY. Hal ini menanggapi pernyataan politikus Nasdem Zulfan Lindan.

“Pernyataan Bang Zulfan harus diuji validitasnya dan diperhadapkan dengan konteks pada masa itu agar mendapatkan pemahaman yang utuh dan tak bias,” kata Kamhar saat dihubungi terpisah.

“Jangan sampai terjadi over generalisasi atau mensimplifikasi sehingga penarikan kesimpulannya menjadi tak tepat alias bias,” katanya.

Menurut Kamhar, kemenangan SBY-JK pada 2004 tak berhubungan dengan politik identitas. Menurutnya, kemenangan SBY-JK didorong oleh aspirasi soal perubahan.

“Tak ada eksploitasi politik identitas pada masa itu, kemenangan SBY-JK karena besar dan kuatnya aspirasi perubahan dan perbaikan yang mengemuka pada masa itu,” ucap Kamhar.

Bagi Kamhar, selama dua periode atau 10 tahun Presiden SBY memerintah, tidak pernah terdengan konflik atau sentimen berbau politik identitas.

“Ini juga semakin diperkuat selama 2 periode Pemerintahan Pak SBY tak pernah ada isu-isu politik identitas. Jadi tesis yang disampaikan yang menghubungkan Pak SBY dengan politik identitas, jauh panggang dari api,” kata Kamhar.

Sebelumnya Politikus Partai NasDem, Zulfan Lindan, menyebut embrio politik identitas muncul oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Menurut Zulfan, politik identitas dimainkan ayah AHY itu untuk menang Pemilu 2004.

“Politik identitas ini tercium pada tahun 2004, ketika SBY itu didukung oleh partai-partai, hampir mayoritas didukung partai-partai Islam yang kita lihat,” kata Zulfan dalam acara Adu Perspektif, Total Politik X detikcom, dengan topik ‘Anies Vs Prabowo, Siapa Bisa Rebut Suara ‘Umat’?’ Selasa (21/2/2023).

Pada Pemilu Presiden (Pilpres) 2004, SBY harus melawan petahana Megawati Soekarnoputri. Susilo Bambang Yudhoyono yang berpasangan dengan Jusuf Kalla (JK) dicalonkan oleh Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI).

Dari lima pasangan calon, SBY dan Megawati, yang merupakan Ketua Umum PDIP, lolos ke putaran kedua. SBY kemudian mendapat tambahan dukungan dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Amanat Nasional (PAN).

“Di situ, SBY tahu memainkan permainan ini, karena dia akan bersaing dengan Megawati di dalam Pilpres. Baik 2004, ataupun 2009, maka dia harus memanfaatkan kelompok Islam kanan ini untuk memang berhadapan dengan kelompok PDIP yang dianggap nasionalis,” kata Zulfan.

Menurut Zulfan, politik identitas telah terbangun pada saat itu. Kemudian, menurut Zulfan, dimanfaatkan juga pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019.

“Itu sudah terbangun sejak itu, kemudian 2014 semakin dimanfaatkan lagi, 2019 dimanfaatkan lagi konflik atau perbedaan atau polarisasi ini,” ujar Zulfan.

“Kalau kita mundur ke belakang, artinya embrio lahirnya politik identitas ini ada di SBY pada 2004,” imbuh Zulfan.(SW)