JAKARTA – Indonesia Police Watch (IPW) menyampaikan bahwa internal Polri tidak menghendaki jika mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo mendapatkan vonis hukuman maksimal dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat.

Hal ini disampaikan Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso dalam acara Satu Meja Kompas TV yang tayang pada Rabu (25/1/2023) lalu.

“Di dalam yang saya dengar, internal (Polri) tidak menghendaki Sambo itu juga mendapatkan hukuman maksimal,” ujar Sugeng.

Sebab, menurut Sugeng, jika Sambo mendapat hukuman maksimal maka ia dapat membuka sumber daya informasi atau kebobrokan anggota Polri lainnya.

Salah satunya, ia mencontohkan soal Laporan Hasil Penyelidikan (LHP) Divisi Propam Polri terkait dugaan kasus suap tambang batu bara ilegal di Kalimantan Timur (Kaltim) yang terkait anggota Polres Samarinda, Kalimantan Timur, Ismail Bolong.

“Kalau misalnya terjadi dia mendapatkan hukuman maksimal dan merasa dia ‘ditinggalkan”, dia bisa kemudian kecewa, kemudian dia bisa membuka sumber daya informasi yang dia miliki,” ucapnya.

Lebih lanjut, ia juga mencium ada hal yang mencurigakan terkait pernyataan Ferdy Sambo terkait LHP tersebut.

Menurut Sugeng, di awal persidangan Ferdy Sambo dan terdakwa obstruction of justice penyidikan pembunuhan berencana Yosua, Hendra membenarkan soal adanya LHP soal kasus tambang ilegal itu.

Sementara itu Mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri, Irjen Ferdy Sambo, membacakan nota pembelaannya dalam sidang kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Selasa kemarin, 24 Januari 2023. Nota pembelaan berjudul Setitik Harapan di Tengah Sesaknya Pengadilan itu dibacakan Sambo selama 34 menit.

Setidaknya terdapat 10 poin yang disampaikan Sambo dalam pledoinya tersebut diantaranya:

Sambo mengaku tidak ada perencanaan pembunuhan

Sambo tetap menyatakan dirinya tak merencanakan pembunuhan terhadap Brigadir Yosua seperti yang dituduhkan jaksa dalam dakwaan dan tuntutan kepadanya. Dia menyatakan peristiwa yang terjadi di rumah dinasnya di Komplek Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan, pada 8 Juli 2022 itu terjadi secara spontan.

“Sejak awal saya tidak merencanakan pembunuhan terhadap korban Yosua karena peristiwa tersebut terjadi begitu singkat dan diliputi emosi,” kata Sambo.

Menurut Sambo, peristiwa itu terjadi karena dia emosi setelah mendengar cerita istrinya, Putri Candrawathi, soal pemerkosaan yang dilakukan Brigadir Yosua sehari sebelumnya di rumah mereka di Magelang, Jawa Tengah.

Sambo mengaku perasaannya campur aduk, dari marah hingga kecewa terhadap Yosua, saat melihat Putri menangis tersedu-sedu setelah mengadu.

“Membayangkan harkat dan martabat saya sebagai lelaki dan suami yang dihempaskan, diinjak-injak, serta bagaimana kami akan menjelaskan semuanya kepada anak kami nanti,” ujar dia.

Klaim telah berupaya menyajikan semua fakta

Ferdy Sambo juga mengaku telah menceritakan semua fakta yang dia ketahui dalam pemeriksaan. Bahkan, dia menyatakan telah berupaya mendorong pada saksi untuk menceritakan semua kejadian kepada penyidik.

“Termasuk mendorong saksi atau terdakwa lain sebagaimana dalam keterangan kuat Maruf untuk mengungkap skenario tidak benar pada pemeriksaan di tingkat penyidikan,” ujarnya.

Meskipun demikian, Sambo tetap tak mengaku ikut melakukan eksekusi terhadap Brigadir Yosua. Kuasa hukum Sambo pun menyatakan bahwa dalam sidang tak ada satu pun bukti yang menunjukkan kliennya melakukan hal tersebut.

Mereka pun menyatakan dalam sidang hanya Richard Eliezer Pudihang Lumiu yang terbukti melakukan penembakan terhadap Yosua.

“Terbukti bahwa saksi Ricky Rizal Wibowo dan saksi Kuat Ma’ruf, berada di TKP rumah Duren Tiga pada saat kejadian, dan di hadapan persidangan, saksi menerangkan bahwa saksi Richard Eliezerlah yang melakukan penembakan kepada korban berkali-kali,” kata salah satu penasihat hukum Sambo dalam sidang kemarin.(SW)