JAKARTA – Ombudsman sebut Negara gagal lindungi warganya terkait kasus gagal ginjal akut pada anak. BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) yang dipercaya negara dalam hal ini pemerintah untuk memberi perlindungan masyarakat, gagal menjalankan fungsinya dengan baik.

Kini BPOM pun jadi sorotan. Masyarakat tak puas bila sanksi pidana hanya diterapkan pada produsen obat saja. Tetapi juga harusnya pejabat di BPOM diberikan sanksi pidana karena kelalaian mereka dalam hal mengawasi. Kelalaian mereka telah menimbulkan korban jiwa secara masif.

BPOM Rilis 5 Obat Sirup Terkontaminasi Etilen Glikol di Atas Ambang Aman

Anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Robert Na Endi Jaweng, menilai adanya masalah maladministrasi dalam kasus gagal ginjal akut pada anak yang merebak di Indonesia saat ini. Robert menilai maladministrasi itu dilakukan oleh Kementrian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Maladministrasi ini menyebabkan jatuhnya korban jiwa pada anak-anak. Dan itu secara masif. Karenanya harus ada sanksi pidana di pihak BPOM juga, karena BPOM lah yang meloloskan obat-obat itu beredar.

Robert menyatakan kasus ini merupakan bentuk gagalnya Negara dalam memberikan pelindungan secara efektif berupa jaminan keselamatan rakyat. Ombudsman, menurut Robert, melihat Kemenkes melakukan maladministrasi karena sebenarnya kasus ini sudah terjadi sejak Januari lalu namun baru mendapatkan perhatian serius pada beberapa bulan belakangan.

Kemenkes melakukan maladministrasi karena tidak memiliki data yang valid “Pertama adalah di Kementrian Kesehatan kami melihat potensi maladministrasi nya itu terlihat pada tidak dimilikinya data pokok terkait sebaran penyakit atau epidemiologi dan ini kemudian berakibat pada kelalaian dalam pencegahan atau mitigasi kasus-kasus gagal ginjal,” kata Robert dalam konferensi pers pada Selasa, lalu.

https://www.google.co.id/amp/s/news.detik.com/berita/d-6395813/bareskrim-bakal-gali-dugaan-kelalaian-bpom-di-kasus-gagal-ginjal-akut/amp

Mengutip sumber data dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dan Kementerian Kesehatan RI, Robert mengatakan, kasus gagal ginjal akut pada anak sudah terlihat sejak Januari dengan 2 kasus. Angka itu kemudian bertambah hingga data terakhir per Senin, 24 Oktober 2022, menunjukkan ada 245 kasus dengan tingkat kematian mencapai 57,5 persen.

“Kalau kita melihat data bapak ibu sekalian, ini kasusnya bukan baru terjadi bulan ini atau bulan kemarin. Data menunjukan bahwa sesungguhnya kejadiannya itu sudah mulai dari bulan Januari dengan angka yang memang masih kecil,” ungkap Robert.

Robert pun mengutip pernyataan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin yang menyatakan ada kemungkinan jumlah kasus sebenarnya jauh lebih besar. Hal itu sempat dinyatakan Budi dalam konferensi pers pada Jumat, 21 Oktober 2022.

“Kalau data ini memang tidak akurat, maka di sini sesungguhnya pemerintah sudah melakukan maladministrasi data,” kata Robert.

ORI juga melihat Kementrian Kesehatan tidak bisa memberikan informasi dan sosialisasi kepada masyarakat. Dua juga melihat Kemenkes tidak memiliki keterbukaan dan akuntabilitas atas informasi yang valid dan terpercaya terkait kasus gagal ginjal akut.

Robert menyebutkan kelalaian pada Kementrian Kesehatan dapat dilihat dari ketiadaan standarisasi pencegahan dan penanganan kasus gagal ginjal akut sekaligus menyebabkan tidak terpenuhinya standar pelayanan termasuk pelayanan pada pemeriksaan di laboratorium.

Selain itu, ORI menilai BPOM juga melakukan maladministrasi karena tidak secara ketat melakukan pengawasan ketat terhadap obat-obatan yang diduga menjadi penyebab gagal ginjal akut. Menurut Robert, BPOM seharusnya bisa mencegah masalah ini muncul jika melakukan pengawasan ketat pada proses sebelum obat didistribusikan dan setelah obat berada di pasaran.

“Kami melihat bahwa kelalaian yang terjadi pada Badan POM itu terlihat pada pengawasan baik pada pre market atau proses sebelum obat distribusikan atau diedarkan dan post market control ini terkait dengan pengawasan setelah produk itu beredar,” ucap Robert

Atas dugaan maladministrasi tersebut, Ombudsman memberi masukan untuk melakukan rangkaian menindaklanjuti kasus ini. Pertama, Robert meminta Kementrian Kesehatan RI dan BPOM RI untuk membenahi ketersediaan dan akurasi data ini. Kemudian melakukan keterbukaan informasi.

“Publik berhak untuk mengetahui informasi kesehatan yang valid dan terpercaya,” ujar Robert.

Ketiga, ia juga meminta agar pemerintah untuk memenuhi standar layanan publik yang ada. Termasuk memperhatikan batas atau ambang batas dari kandungan senyawa berbahaya. Robert menambahkan, BPOM juga harus melakuan pengawasan yang sangat ketat terhadap peredaran obat pada pre market dan post market. Kelima, ketersediaan akses layanan pengaduan dari masyarakat.

“Adanya sanksi yang keras terhadap perusahaan farmasi yang memproduksi dan mengedarkan produk-produk yang sudah ditetapkan oleh pemerintah sebagai produk yang sementara ini dicabut atau ditahan untuk tidak kemudian diedarkan pada masyarakat,” kata Robert.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pada Senin kemarin menyatakan bahwa pihaknya bisa memastikan peningkatan kasus gagal ginjal akut pada anak terjadi akibat konsumsi obat sirup yang mengandung Etilen Glikol (EG), Dietilen Glikol (DEG), dan Etilen Glikol Eter Butil (EGEB). BPOM sebelumnya telah mengidentifikasi 5 obat sirup yang memiliki kandungan berbahaya itu dan memerintahkan untuk menariknya dari peredaran.(SW)